Bangunan tua
peninggalan sejarah yang bernama Titi Gantung itu berdiri kokoh dengan cat
putih menyapa setiap kendaraan yang memasuki wilayah Pasar Ikan Lama atau yang
dikenal warga Medan dengan sebutan Pajak Ikan.
Dalam hitungan menit, aku telah memasuki wilayah
pasar tekstil yang cukup tersohor di Medan ini. Tampak seorang turis mancanegara
tengah menapaki ruas jalan. Sesekali dilihatnya beberapa toko yang didominasi
oleh pedagang berkebangsaan Arab.
Seorang pedagang
asli Pakistan, Muhammad Yaqub, yang mengaku telah 25 tahun menggantungkan
kehidupannya menjadi pedagang di Pajak Ikan ini, mengiyakan bahwa beberapa abad
yang lalu pajak ikan ini adalah tempat penjualan Ikan terbesar di Sumatera
utara.
Tapi sekarang
hal itu hanya tinggal nama saja karena tak ada seorang pun yang berjualan ikan
tempat itu. “Itu jaman kakek-kakeknya saya dulu,” ujar Yaqub. Melihat dagangan
yang ditawarkan seputar pajak ikan, tidak ditemui satu pun penjualan ikan. Yang
ada malah penjualan tekstil, makanan ringan, dan souvenir.
Sebagai
pendatang baru di kota terbesar ketiga di Indonesia ini, aku sempat
menyangsikan kebenaran cerita tersebut.
Efendi, salah seorang pedagang Ulos, tenunan khas suku Batak, menambah
kesangsianku ketika ia mengungkapkan bahwa cerita tentang pasar ikan itu hanya
sebatas mitos. Sebab sejak 1972 ia bekerja di sana, sudah banyak orang yang
menjual tekstil.
Kesangsian ini
terbukti setelah aku benar-benar menyusuri tiap lorong Pajak Ikan. “Pajak Ikan
sebagai pusat grosir tekstil terbesar di Medan didominasi pedagang dari luar
daerah. Mereka mengambil dan memasok barang ke daerah mereka dari sini,” tambah
Yaqub.
Layaknya
Malioboro di Jogjakarta, Pajak Ikan dipadati oleh beberapa pedagang batik
dengan berbagai macam motif yang ditawarkan. Selain itu penjaja makanan ringan
turut meramaikan pasar yang berada di wilayah Medan Barat itu. Mulai dari kue
kering hingga manisan, bahkan kurma Arab dan air zam-zam. Namun tetap saja,
hampir setiap tokonya memajang batik.
Penghidupan
lain di balik Pajak Ikan
Beranjak
dari situ, tampak bangunan-bangunan kuno dengan arsitektur Belanda yang masih berdiri
tegak di daerah ini. Kendaraan berlalu-lalang. Suara klakson memekakkan
telinga, mengejutkanku. Seorang tukang parkir menghampiri. Dengan sigap
mengarahkan sopir untuk parkir sesuai dengan posisi yang telah ditentukan, agar
tak mengganggu pengendara lain.
Mengagetkan,
ketika orang yang mengenakan pakaian dinas parkir berwarna oranye itu menoleh,
ternyata ia adalah seorang perempuan. Wajah pribumi terlihat kental dari raut
wajahnya. Dia adalah Sari. Ibu dari
seorang anak berusia tiga belas tahun.
Wanita yang
berumur setengah abad dan berkulit sawo matang ini sudah bekerja sebagai tukang
parkir selama tiga bulan di sekitar Pajak Ikan. Sebelumnya dia menggeluti
pekerjaan serupa selama satu setengah tahun di Jalan Sutomo. Dari pekerjaan ini,
perempuan berambut sebahu ini mendapat penghasilan sekitar 15 sampai 30 ribu
per hari setelah setoran.
Penghasilan
keluarganya hanya dari pekerjaannya menjadi tukang parkir. Walaupun harus
bekerja 12 jam setiap hari dengan hasil pas-pasan, ia masih mampu menyekolahkan
anaknya yang saat ini berada di bangku SMP. “Suami saya jadi TKI (tenaga kerja
Indonesia –red) di Malaysia,” ujarnya lirih. Dia enggan menjawab ketika
ditanya apakah suaminya mengirim uang tiap bulannya. Dia hanya berkata, “Tegarlah
dalam berumah tangga”.
Awalnya aku tidak menghiraukan kalimat itu, tetapi setelah mengakhiri
perjalanan barulah aku menyadari, di tengah pesatnya kemajuan Kota Medan, masih
bertahan seorang “Ibu Parkir” yang menggantungkan sendi kehidupannya di sebuah
pasar, di pusat kota ini. Kehidupan ini memang terkadang begitu keras. Namun
itu semua tergantung pikiran kita. Aku teringat pesan seorang teman, “bekerja
cerdaslah jangan bekerja keras!”. That’s All
Tidak ada komentar:
Posting Komentar