Laman

Mengenai Saya

Foto saya
Medan, Sumatera Utara, Indonesia
pembelajar

Jumat, 06 Juli 2012

Suatu Siang, di Pajak Ikan Lama



Bangunan tua peninggalan sejarah yang bernama Titi Gantung itu berdiri kokoh dengan cat putih menyapa setiap kendaraan yang memasuki wilayah Pasar Ikan Lama atau yang dikenal warga Medan dengan sebutan Pajak Ikan.
                Dalam hitungan menit, aku telah memasuki wilayah pasar tekstil yang cukup tersohor di Medan ini. Tampak seorang turis mancanegara tengah menapaki ruas jalan. Sesekali dilihatnya beberapa toko yang didominasi oleh pedagang berkebangsaan Arab.
Seorang pedagang asli Pakistan, Muhammad Yaqub, yang mengaku telah 25 tahun menggantungkan kehidupannya menjadi pedagang di Pajak Ikan ini, mengiyakan bahwa beberapa abad yang lalu pajak ikan ini adalah tempat penjualan Ikan terbesar di Sumatera utara.
Tapi sekarang hal itu hanya tinggal nama saja karena tak ada seorang pun yang berjualan ikan tempat itu. “Itu jaman kakek-kakeknya saya dulu,” ujar Yaqub. Melihat dagangan yang ditawarkan seputar pajak ikan, tidak ditemui satu pun penjualan ikan. Yang ada malah penjualan tekstil, makanan ringan, dan souvenir.

Sebagai pendatang baru di kota terbesar ketiga di Indonesia ini, aku sempat menyangsikan kebenaran cerita tersebut.  Efendi, salah seorang pedagang Ulos, tenunan khas suku Batak, menambah kesangsianku ketika ia mengungkapkan bahwa cerita tentang pasar ikan itu hanya sebatas mitos. Sebab sejak 1972 ia bekerja di sana, sudah banyak orang yang menjual tekstil.
Kesangsian ini terbukti setelah aku benar-benar menyusuri tiap lorong Pajak Ikan. “Pajak Ikan sebagai pusat grosir tekstil terbesar di Medan didominasi pedagang dari luar daerah. Mereka mengambil dan memasok barang ke daerah mereka dari sini,” tambah Yaqub.
Layaknya Malioboro di Jogjakarta, Pajak Ikan dipadati oleh beberapa pedagang batik dengan berbagai macam motif yang ditawarkan. Selain itu penjaja makanan ringan turut meramaikan pasar yang berada di wilayah Medan Barat itu. Mulai dari kue kering hingga manisan, bahkan kurma Arab dan air zam-zam. Namun tetap saja, hampir setiap tokonya memajang batik.
Penghidupan lain di balik  Pajak Ikan
                Beranjak dari situ, tampak bangunan-bangunan kuno dengan arsitektur Belanda yang masih berdiri tegak di daerah ini. Kendaraan berlalu-lalang. Suara klakson memekakkan telinga, mengejutkanku. Seorang tukang parkir menghampiri. Dengan sigap mengarahkan sopir untuk parkir sesuai dengan posisi yang telah ditentukan, agar tak mengganggu pengendara lain.
Mengagetkan, ketika orang yang mengenakan pakaian dinas parkir berwarna oranye itu menoleh, ternyata ia adalah seorang perempuan. Wajah pribumi terlihat kental dari raut wajahnya. Dia adalah Sari.  Ibu dari seorang anak berusia tiga belas tahun.
Wanita yang berumur setengah abad dan berkulit sawo matang ini sudah bekerja sebagai tukang parkir selama tiga bulan di sekitar Pajak Ikan. Sebelumnya dia menggeluti pekerjaan serupa selama satu setengah tahun di Jalan Sutomo. Dari pekerjaan ini, perempuan berambut sebahu ini mendapat penghasilan sekitar 15 sampai 30 ribu per hari setelah setoran.
Penghasilan keluarganya hanya dari pekerjaannya menjadi tukang parkir. Walaupun harus bekerja 12 jam setiap hari dengan hasil pas-pasan, ia masih mampu menyekolahkan anaknya yang saat ini berada di bangku SMP. “Suami saya jadi TKI (tenaga kerja Indonesia –red) di Malaysia,” ujarnya lirih. Dia enggan menjawab ketika ditanya apakah suaminya mengirim uang tiap bulannya. Dia hanya berkata, “Tegarlah dalam berumah tangga”. 
Awalnya aku tidak menghiraukan kalimat itu, tetapi setelah mengakhiri perjalanan barulah aku menyadari, di tengah pesatnya kemajuan Kota Medan, masih bertahan seorang “Ibu Parkir” yang menggantungkan sendi kehidupannya di sebuah pasar, di pusat kota ini. Kehidupan ini memang terkadang begitu keras. Namun itu semua tergantung pikiran kita. Aku teringat pesan seorang teman, “bekerja cerdaslah jangan bekerja keras!”. That’s All

Tidak ada komentar:

Posting Komentar