Laman

Mengenai Saya

Foto saya
Medan, Sumatera Utara, Indonesia
pembelajar

Jumat, 06 Juli 2012

Roti dan Susu


Wanita tua itu tetap semangat ditatah suaminya menelurusi sepanjang jalan yang mereka inginkan. Walau mata tak bisa melihat, tetapi semangat hidup terpancar jelas melalui raut mukanya yang cerah. Pasangan suami istri ini berjalan memasuki kampung-kampung atau desa, pajak dan kota. Bermodalkan tenaga yang tak seberapa mereka melangkahkan kaki dari gubuk kecilnya mengharap sesuap nasi dari mereka-mereka yang berhati mulia atau iba. Mengetuk tiap pintu rumah orang yang tidak mereka kenal.  Mengharap keikhlasan hati si empunya rumah. “kalau tak seribu gopek pun jadi, kalau gak gopek senyum pun jadi” lantunan lagu anak-anak jalanan lampu merah Aksara Pancing juga menjadi bahasa hati mereka. Yah… begitulah harapan sepasang suami istri itu. Ada hal yang berbeda di kampung mereka ini dari layaknya kota Medan yang kukenal. Kebanyakan mereka memberi beras sebanyak 1 muk (kaleng susu cair kecil –buat orang Alas Kutacane Aceh Tenggara) dari pada uang seribu rupiah. Kalau mau dihargakan, 1 muk hampir mendacai dua ribu sampai tiga ribu rupiah ukuran harga beras saat ini, mungkin karena mayoritas penduduk adalah petani.  

Lain halnya jika mereka memasuki pajak. Di pajak mereka membentangkan alas sebagai tempat duduk dan mengharap belas kasihan orang yang lalu lalang. Sesekali  mereka berjalan mendatangi tiap kios-kios mengharap lima ratus rupiah dari sang pemilik kios.
Suatu ketika aku pernah mengajaknya berbincang-bincang kecil. “kepala saya sering pusing, tenaga sudah tidak sekuat dulu, anak tak punya, dan saya tidak punya pengetahuan. Nak..kamu rajin-rajin sekolah ya, biar pintar dan bisa menjadi orang yang berguna, jangan seperti saya, hanya menjadi pengemis seperti ini” ujarnya memaparkan sedikit kegetiran hidup yang ia hadapi. Hatiku seperti tersayat belati, sakit dan perih mendengar cerita wanita tua ini.
Aku pernah belajar sebuah sabda Nabi Muhammad SAW dan kemudian kusimpulkan maknanya menurut pahamku “tangan diatas lebih  mulia dari pada tangan dibawah.” Ekspektasi implisit dari sabda itu, bahwa kita dituntut untuk kaya. Pikiran sederhana akan menjawab, bagaimana kita mau memberi sedangkan untuk kita sendiri tidak cukup. Hanya orang kaya sajalah yang mampu untuk hal tersebut.
Pemikiran seperti ini akan membuat kita tidak berkembang. Memberi bukan hanya dengan materi saja. Tapi banyak hal yang bisa kita beri. Bisa berupa materi dan non materi. Contoh non materi seperti tenaga, pikiran, motivasi, dukungan, doa dan lain-lain. Begitulah paham yang kudapat memaknai hadis tersebut.
Sedikit pikiran usil memunculkan pertanyaan ketika melihat sang suami. Kalau dilihat secara fisik, sang suami terlihat sempurna. Tapi, mengapa ia tidak bekerja dan mengandalkan cacat fisik istrinya dalam memenuhi nafkah? berjalan menelurusi Kutacane ini dengan menuntun istrinya yang buta? Kenapa istrinya direlakan sebagai korban kemalasannya? Apa dia tidak kasihan melihat kondisi istrinya?
Aku memang belum sempat berbincang dengan sang suami. Pikiran usil ini kutepis saja. Aku berusaha untuk berpikir positif menanggapinya. Mungkin saja sang suami berkondisi sama seperti ungkap wanita tuna netra itu dalam perbincanganku sebelumnya.
Begitulah kerasnya hidup. Ternyata bukan kota besar saja yang menampilkan kegetiran hidup seperti yang terlihat dramatis dalam film-film atau sinetron-sinetron yang ditayangkan televisi. Tapi ini memang fakta nyata dalam kehidupan disekitar kita. Aku jadi yakin penulis skenario film atau sinetron tersebut pun terinspirasi dari kehidupan ini dengan sedikit dramatisasi. Untuk sekelas kota kecil seperti kampungku juga berbicara demikian dengan berbagai macam fenomena kehidupannya.
Suatu siang yang begitu terik, aku bergegas menuju Rumah Sakit Umum setelah menerima SMS dari kakakku. SMS itu melangkahkan kakiku menuju RSU dengan panas matahari yang terik dan menyengat dan menempuh jarak lumayan jauh. Ya.. aku punya janji untuk menjemputnya setelah habis jam dinasnya. Kakakku seorang perawat disana.
Di parkiran, kami sedikit beradu alasan untuk tidak menjadi supir (sepeda motor) waktu pulang. Walaupun alasan kami sebenarnya sama, panas. Akhirnya ia mengalah dan berkenan. Aku duduk di belakangnya. Ketika baru saja memasuki gigi 2 dan kereta masih berjalan sekitar 2 meter, aku melihat sepasang suami istri pengemis tadi.
Sang suami memegang tangan istrinya untuk menuntun jalan. Sang istri mengikuti dari belakang sesuai tuntunan tangan suaminya. Di tangan sang istri ada sebungkus pelastik asoy putih, sehingga aku dapat melihat jelas isi dalamnya. Dalam pelastik itu ada sekaleng susu dan roti. Pikiranku menerka-nerka dan menerawang. Apa mereka mau beroperasi di tempat ini? Ah gak mungkin. Tidak mungkin mereka-mereka terkena musibah dimintain lagi? Dan tidak mungkin membawa makanan kalau mau beroperasi, pastinya dengan tangan kosong. Kerumah sakit, pasti ada yang sakit. Mungkin mereka ingin menjenguk saudara mereka yang sakit. Ya… pikiran inilah yang benar menurutku.
Kembali lagi aku teringat makna dari hadis tadi “tangan diatas lebih baik dari pada tangan di bawah.” Makan aja susah dan hanya mengandalkan belas kasihan orang lain, tapi mereka ingat menyisihkan sedikit rejeki untuk melihat saudara mereka yang sakit. Ini memang spekulasi, mungkin saja saudara, teman, atau tetangga mereka. Siapapun itu, pastinya mereka punya hubungan. Satu pelajaran yang kuambil dari spekulasi membaca sikap mereka. Selain kebalikan dari hadist tersebut menjadi profesi tiada pilihan bagi mereka, namun esensi dari hadist itu juga mereka amalkan. Dan satu lagi Ustadzah ku pernah bilang, “menjenguk orang sakit berarti kita mengingat Allah.” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar