Wanita tua itu tetap semangat ditatah suaminya menelurusi
sepanjang jalan yang mereka inginkan. Walau mata tak bisa melihat, tetapi
semangat hidup terpancar jelas melalui raut mukanya yang cerah. Pasangan suami
istri ini berjalan memasuki kampung-kampung atau desa, pajak dan kota.
Bermodalkan tenaga yang tak seberapa mereka melangkahkan kaki dari gubuk
kecilnya mengharap sesuap nasi dari mereka-mereka yang berhati mulia atau iba.
Mengetuk tiap pintu rumah orang yang tidak mereka kenal. Mengharap keikhlasan hati si empunya rumah.
“kalau tak seribu gopek pun jadi, kalau gak gopek senyum pun jadi” lantunan
lagu anak-anak jalanan lampu merah Aksara Pancing juga menjadi bahasa hati
mereka. Yah… begitulah harapan sepasang suami istri itu. Ada hal yang berbeda
di kampung mereka ini dari layaknya kota Medan yang kukenal. Kebanyakan mereka
memberi beras sebanyak 1 muk (kaleng susu cair kecil –buat orang Alas Kutacane
Aceh Tenggara) dari pada uang seribu rupiah. Kalau mau dihargakan, 1 muk hampir
mendacai dua ribu sampai tiga ribu rupiah ukuran harga beras saat ini, mungkin
karena mayoritas penduduk adalah petani.
Lain halnya jika mereka memasuki pajak. Di pajak mereka
membentangkan alas sebagai tempat duduk dan mengharap belas kasihan orang yang
lalu lalang. Sesekali mereka berjalan
mendatangi tiap kios-kios mengharap lima ratus rupiah dari sang pemilik kios.
Suatu ketika aku pernah mengajaknya berbincang-bincang
kecil. “kepala saya sering pusing, tenaga sudah tidak sekuat dulu, anak tak
punya, dan saya tidak punya pengetahuan. Nak..kamu rajin-rajin sekolah ya, biar
pintar dan bisa menjadi orang yang berguna, jangan seperti saya, hanya menjadi
pengemis seperti ini” ujarnya memaparkan sedikit kegetiran hidup yang ia
hadapi. Hatiku seperti tersayat belati, sakit dan perih mendengar cerita wanita
tua ini.
Aku pernah belajar sebuah sabda Nabi Muhammad SAW dan
kemudian kusimpulkan maknanya menurut pahamku “tangan diatas lebih mulia dari pada tangan dibawah.” Ekspektasi
implisit dari sabda itu, bahwa kita dituntut untuk kaya. Pikiran sederhana akan
menjawab, bagaimana kita mau memberi sedangkan untuk kita sendiri tidak cukup.
Hanya orang kaya sajalah yang mampu untuk hal tersebut.
Pemikiran seperti ini akan membuat kita tidak berkembang.
Memberi bukan hanya dengan materi saja. Tapi banyak hal yang bisa kita beri.
Bisa berupa materi dan non materi. Contoh non materi seperti tenaga, pikiran,
motivasi, dukungan, doa dan lain-lain. Begitulah paham yang kudapat memaknai
hadis tersebut.
Sedikit pikiran usil memunculkan pertanyaan ketika melihat
sang suami. Kalau dilihat secara fisik, sang suami terlihat sempurna. Tapi,
mengapa ia tidak bekerja dan mengandalkan cacat fisik istrinya dalam memenuhi
nafkah? berjalan menelurusi Kutacane ini dengan menuntun istrinya yang buta?
Kenapa istrinya direlakan sebagai korban kemalasannya? Apa dia tidak kasihan
melihat kondisi istrinya?
Aku memang belum sempat berbincang dengan sang suami.
Pikiran usil ini kutepis saja. Aku berusaha untuk berpikir positif
menanggapinya. Mungkin saja sang suami berkondisi sama seperti ungkap wanita
tuna netra itu dalam perbincanganku sebelumnya.
Begitulah kerasnya hidup. Ternyata bukan kota besar saja
yang menampilkan kegetiran hidup seperti yang terlihat dramatis dalam film-film
atau sinetron-sinetron yang ditayangkan televisi. Tapi ini memang fakta nyata
dalam kehidupan disekitar kita. Aku jadi yakin penulis skenario film atau
sinetron tersebut pun terinspirasi dari kehidupan ini dengan sedikit
dramatisasi. Untuk sekelas kota kecil seperti kampungku juga berbicara demikian
dengan berbagai macam fenomena kehidupannya.
Suatu siang yang begitu terik, aku bergegas menuju Rumah
Sakit Umum setelah menerima SMS dari kakakku. SMS itu melangkahkan kakiku
menuju RSU dengan panas matahari yang terik dan menyengat dan menempuh jarak
lumayan jauh. Ya.. aku punya janji untuk menjemputnya setelah habis jam
dinasnya. Kakakku seorang perawat disana.
Di parkiran, kami sedikit beradu alasan untuk tidak menjadi
supir (sepeda motor) waktu pulang. Walaupun alasan kami sebenarnya sama, panas.
Akhirnya ia mengalah dan berkenan. Aku duduk di belakangnya. Ketika baru saja
memasuki gigi 2 dan kereta masih berjalan sekitar 2 meter, aku melihat sepasang
suami istri pengemis tadi.
Sang suami memegang tangan istrinya untuk menuntun jalan. Sang
istri mengikuti dari belakang sesuai tuntunan tangan suaminya. Di tangan sang
istri ada sebungkus pelastik asoy putih, sehingga aku dapat melihat jelas isi
dalamnya. Dalam pelastik itu ada sekaleng susu dan roti. Pikiranku menerka-nerka
dan menerawang. Apa mereka mau beroperasi di tempat ini? Ah gak mungkin. Tidak
mungkin mereka-mereka terkena musibah dimintain lagi? Dan tidak mungkin membawa
makanan kalau mau beroperasi, pastinya dengan tangan kosong. Kerumah sakit,
pasti ada yang sakit. Mungkin mereka ingin menjenguk saudara mereka yang sakit.
Ya… pikiran inilah yang benar menurutku.
Kembali lagi aku teringat makna dari hadis tadi “tangan
diatas lebih baik dari pada tangan di bawah.” Makan aja susah dan hanya
mengandalkan belas kasihan orang lain, tapi mereka ingat menyisihkan sedikit
rejeki untuk melihat saudara mereka yang sakit. Ini memang spekulasi, mungkin
saja saudara, teman, atau tetangga mereka. Siapapun itu, pastinya mereka punya
hubungan. Satu pelajaran yang kuambil dari spekulasi membaca sikap mereka. Selain
kebalikan dari hadist tersebut menjadi profesi tiada pilihan bagi mereka, namun
esensi dari hadist itu juga mereka amalkan. Dan satu lagi Ustadzah ku pernah
bilang, “menjenguk orang sakit berarti kita mengingat Allah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar