Suatu malam, langkahku lama tertahan di depan sebuah kede.
Rumah yang disulap menjadi tempat jualan nasi goreng, mie tiaw, ifo mie, juz
dan lain-lain ini telah mengusik lama dipikiranku. Awalnya aku selalu
takut-takut jika harus membeli disini. Karena jerjak-jerjak tinggi menutupi
pandangan ke dalam tempat jualan, sehingga membuat ragu, apakah halal jika aku
memakan masakannya. Terlintas keraguan yang lama menahan niatku untuk membeli.
Selain juga tempat yang kurang bersahabat menurutku, tidak
terlihat banyak orang membeli. Sudah hampir dua tahun aku bertetangga
dengannya. Tapi belum pernah sekalipun aku mencicipi masakan atau jus buatan
mamak Jojo. Ya itulah panggilannya. Seorang ibu yang terbilang masih muda
berambut kriting dan sedikit gemuk. Anaknya masih satu dan tiga tahun lebih
muda dari adikku Anshor, mungkin.
Menurut pandanganku, kede mamak Jojo tidak serame sekarang.
Aku jarang melihat orang rame membeli disini. Mungkin karena aku sudah ikutan
beli disini kali ya. Namun belakangan, mamak Jojo seperti kebanjiran order.
Terkadang aku kasihan melihatnya. Bayangkan saja, dia harus melayani belasan
orang dengan hanya di bantu dua tangan dan satu kompor gas. Pesanan datang
bertubi-tubi. Dengan modal semangat dari pembeli yang memenuhi pelataran rumahnya
dan bantuan sekali-kali dari sang suami, dia tetap tersenyum. Aku kurang tahu,
apa faktornya. Padahal dulu kede mamak Jojo sepi sesepi mungkin. Namun sekarang
jadi rame-serame mungkin.
Harga beras sekarang semakin naik, Rp 10.000 per kilo gram.
Begitu juga dengan bahan masakan lainnya. Ada beberapa jenis yang harganya
melonjak. Mie Aceh kesukaan kos As-Salamah (nama kos ku , pemberian Bang Arif)
yang berada di depan gang kami, juga sudah naik harganya. Karena alasan yang
sama, banyak bahan yang naik juga. Dulunya per satu porsi hanya Rp 5000.
Sekarang sudah menjadi Rp 6.000, baik itu Mie Aceh, Ifo Mie, Nasi Goreng, dan
Indomie.
Terkadang jiwa anak kos membuat ku pelit dan
hitung-hitungan. Untuk uang sejumlah Rp 1.000 saja, akan kukalkulasi dengan
akumulasi yang ketat. Bayangkan saja, kalau setiap harinya harus mengeluarkan
target berlebih seribu, maka akumulasi satu bulan, kocekku akan berkurang Rp
30.000. Untuk ukuran kantong mahasiswa, sekecil apapun harus diperhitungkan.
“Biasa… mahasiswa” mungkin ungkapan ini akan membantuku beralibi lebih baik.
Untuk yang bersifat konsumtif aku akan selektif. Namun jika untuk hal yang
produktif aku akan lebih leluasa. Menurutku, jika produktif akan mengembalikan
pengeluaran. Namun untuk hal yang konsumtif, itu hanya selesai dan habis saat
itu saja.
Mamak Jojo, tidak bergeming dari harga awal. Dia tetap
menjual jualannya dengan harga Rp 5.000, sedangkan untuk tiga kede jualan yang
seperti ini juga, tempat biasa aku mangkal dan teman-teman, sudah naik harganya
semua. Dari yang Rp 5.000 menjadi Rp 6.000 bahkan ada yang sampai Rp 7.000 dan
Rp 8.000 per porsinya.
Aku melihat banyak mahasiswa yang belanja di kede mamak
Jojo. Banyak mahasiswa seperti ku juga disini. Bahkan kami sempat mengantri
selama satu jam setengah. Mungkin motif kami tidak semua sama. Tapi, spekulasi
ku sementara bilang, karena murah. Petanyaan terakhir mengusikku “apa dia gak
rugi? Apa dia gak tau kalau semua kede seperti ini, sudah menaikkan harga
jualan mereka?
Sambil menenteng kresek putih, aku kembali ke kos sambil membawa
pertanyaan pulang dan menyimpannya. Dia pasti punya hitungan sendiri,
menurutku. Rasanya tidak ingin menanyakan ini padanya. Ku nikmatin aja dulu…
hehehehe ^-~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar